“Bagaimana ku bias terbang saat sayap-sayapku tlah putus karenamu, bagaimana ku bias berhenti terisak saat penawarku hanyalah dirimu.”
            Ulun adalah seorang gadis yang tinggal di pusat kota pada daerah ulun. Seperti anak kebanyakan ulunpun pernah merasakan nano-nanonya cinta. 28 Mei awal dari kisah itu. Ulun bertemu dengan seorang ikhwan dari pulau seberang sana. Pertemuan nan klasik itu menghasilkan bibit-bibit cinta pada diri ulun dan ikhwan tersebut. Seorang lulusan pesantren Syaikhonah Kholil, berperawakan tinggi dan berkulit putik itulah yang telah memberangkap dan menyekap hati ulun ke dalam hiruk pikuk sebuah cinta. Hari-hari terlewati dengan indahnya, bang Abdul pun tiada jemu, tiada bosan menasehati ulun untuk belajar bersabar laksana istri Fir’aun, Aisyah namanya, yang selalu setiak kepada pasangannya seperti istri baginda Rasulullah, Siti Khadijah, seperti Aisyah istri Rasulullah yang selalu jujur, dan seperti puteri Rasulullah yang berteguh hati, Fatimah namanya. Pembelajaran akhidah akhlaq selalu diselipkan kala perbincangan kami. Hingga bang Abdul pun sempat mengajarkan kepada ulun untuk memahami kitab gundul Khulutul Ulyum.
            “Mencintaimu atas izin-Nya, tak ku kira rasa ini semakin dalam sejak pertama kita dipertemukan. Ya Robb, ku mohon satu pada-Mu, dengarlah doa tulusku. Ku tauhu Engkau Maha Mendengar dan jua tak akan pernah ingkar. Ku melihat keindahan dalam dirinya, keindahan dari sisi seorang pecinta Tuhan, ku mohon satu pada-Mu, dengarkanlah doaku, bila ia Engkau pilihkan untukku, dekatkanlah hatinya dengan hatiku.”
            Sejak pertemuan nan klasik itu, gejolak-gejolak cinta semakin tumbuh dan bermekaran pada diri ulun. Hari, minggu, bahkan bulan telah kita lewati bersama. Asam manisnya cintapun telah bermekaran di sana. Agustus, awal perselisihan itu. Ulun memergoki bang Abdul sedang bermesraan dengan seorang akhwat via SMS. Hingga semua itu mengakibatkan percekcokkan via telepon, “Naon teh abang tega giniin ulun, siapa akhwat itu bang? Sakit hati ulun kala tau itu semua, tak ku sangka bang teh tega berbuat macam ne ke ulun.”, “Dek, dia teh sahabat abang dan tak lebih, tak mungkin abang tega khianati adek.”. “Abang teh bohong, kalau abang tak akkan setega itu khianati adek, tak mungkin abang lakuin ini semua. Sakit hatu adek, memang kita ini teh melakukan hubungan jarak jauh, dan tidak memungkinkan buat kita agar selalu bertemu dan dek pun mengerti akan letupan rindu pada diri abang dan tak perlulah abang lakuin ini semua apalagi dengan sembunyi-sembunyi di belakang adek, jikalau abang tiada betah lagi, maka adek mohon putuskan saja komitmen kita serta putuskanlah adek sekalian, biarlah lara hati ini tiada berkelanjutan.” Jawab ulun dengan terisak, “Dek, abang tak mungkin setega itu lakuin semua ini ke adek, dan tiada benarnya yang adek katakana semua itu, abang teh sayang dengan adek.”, “Kalau abang sayang dengan adek, ndag mungkin abang lakuin ini semua itu ke adek, selama ini adek udah percaya dengan abang, tapi abang sudah hancurkan kepercayaan adek. Susah untuk bias selalu huznudzon dalam hubungan jarak jauh ini, apalagi abang telah khianati adek.” Masih dengan terisak, ulunpun mematikan telepon tanpa memberi salam kepada bang Abdul.
            “Jika mencintai itu indah, mengapa harus ada air mata.
             Jika mencintai itu menyakitkan, mengapa hars ada tawa.
             Dimana letak kehidupan jika tiada keikhlasan,
             Dimana letak kehidupan jika tiada perasaan.”
            Beberapa hari setelah percekcokkan itu, ulun mencoba untuk memahami penjelasan dari bang Abdul, biarpun susuah ulunpun mencoba mengerti dan memaafkan bang Abdul. Hingga semuanya kembali seperti semula.
            Haripun berlalu dengan cepatnya, 13 November 2011 bang Abdul pun datang ke rumah ulun untuk sekedar bersilahturahmi dengan ulun dan keluarga. Detik, menit, jampun kami lalui di gazebo rumah ulun. Canda, tawa adalah santapan kita saat itu. Perutpun tiada terasa lapar, padahal telah melawati jam makan siang. Tak terasa jarum jam telah melewati pukul 3 sore, ini saatnya bang Abdul meninggalkan ulun. Sebuah gelang dan buku ditinggalkannya kepda ulun, pesan-pesanpun ia sampaika kepada ulun. Ingin rasanya ulun meneteskan air mata, tapi ulun mencoba menahannya, karena ulun tiada ingin mengeluarkannya di depan bang Abdul dan itu semua akan membuat beban saat kepulangannya ke kampung halaman. Dengan mengendarai mobil bang Abdul pun diantarkan abang ulun ke terminal bus Tertonadi.
            Ulunpun tiada menyadari jikalau pertemuan itu merupakan akhir pertemuan ulun dengan bang Abdul kala menjalin tali kasih ini. 28 November 2011 tempat 6 bulan ulun menjalin kasih denga bang Abdul kita mengakhiri semua ini. Ulun memergoki bang Abdul telah ungkapkan perasaannya ke seorang akhwat dari pulau seberang sana.
            “Kini ku tahu, mencintai memang sangat mudah, akan tetapi untuk meraih cinta sangatlah sukar. Maka ulun belajar untuk mencintai tanpa harus menerima balik. Dan ulun rasaa, akhir dari hubungan ini merupakan keputusan yang terbaik dari yang paling baik selama ini.”
            Kini ulun lewati hari-hari ulun tanpa bang Abdul. Tanpa ulun sangka rindu ini pun semakin menumpuk dan cinta ini masih terpendam di hati ulun biarpun bang Abdul telah kecewakan ulun berkali-kali.
            Sore ini di gazebo rumah ulun, ulun termenung di temani abang ulun. “Seseorang yang istimewa bukanlah yang selalu di sisi kita dan bukan pula yang selalu di depan mata kita. Tetapi dia yang setia di hati dan mengiat kita kala bisik doanya.” Kata abang mengusik lamuanku, dan hanya senyuman dan mata yang berkaca-kaca ulun membalasnya. Ulunpun melanjutkan lagi lamuan ulun, “Ulun tau Engkau Maha Adil dan Engkau selalu memberikan hikmah dari setiap masalah yang Engkau berikan kepada hamba-Mu. Ya Allah berikan Ulun kesabaran layaknya Aisyah istri dari Fir’aun.” Batin ulun, dan tiada ulun sadari meneteslah kini air mata ulun.
            Hari-haripun ulun lewati tanpa bang Abdul, dan ulun rasa ulunpun telah terbiasa dengan semua ini. Yang indah hanya sementara, yang abadi adalah kenangan, yang ikhlas hanya dari hati, yang tulus hanya dari sanubari. Tak mudah untuk mencari yang hilang. Tak mudah mengejar impian. Namun yang lebih susah adalah mempertahankan yang ada. Karena walaupun tergenggam kadang terlepas jua. Untuk apa terus meratapi semua ini, toh semua ini sudah ada yang mengaturnya. Kemarin terlah memberikan pengalaman dalam setiap inci langkah ulun. Semalam adalah teladan dan pengajarnya, untuk menghadapi hari esok maka kemarin dan semalam adalah pedoman dalam menerkai hidup ini.

1 komentar:

Hehehehhe......
tugas bahasa indonesia di postkan juga....

jangan lupa buat sosiologi di tulis tangan...


Ngemeng2 backgroundnya g d ganti?

Posting Komentar

About this blog

Entri Populer

Mengenai Saya

Foto saya
To love is nothing... To be loved is something.. To Love and Be Loved is Everything... ^_^ Saat untaian kata tidak lagi berguna., Ratapan jiwa tak lagi bermakna., Harta sudah tak bisa membela,, Keluarga tak lagi bersama... Saat para raja sudah tak lagi berkuasa Semua manusia menunggu keputusanNya., Penuh harap dan penyesalan., Takut akan ada kebenaran saat sang pencipta menepati janji, mebalas mereka yang mengingkari, saat sang pencipta meberi naungan hanya bagi yang di atas kebenaran SAUDARAKU!!! RENUNGKANLAH!! HARTA BUKANLAH SEGALANYA, PANGKAT BUKAN PEMBELA, semua AKAN SIA TANPA TAQWA, SEMUA AKAN DIMINTA JAWABNYA!!!! smoga ada manfaatnya terutama untuk diri ku sendiri dan sahabat fillah sekalian sebagai renungan muhasabah diri. Barakallahu fikum wa jazakumullah khooiron katsir salam santun wa salam ukhuwah slalu :))

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.